Senin, 24 Februari 2014

Membangun Pribadi Muslim yang Berjiwa Qur'ani

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dibanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah SWT berfirman,

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS. Al Isra: 70)

Urgensi Kepribadian Islami

Menjadi pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam agama Islam.Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini dan dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan , antara keimanan dan amal saleh. Oleh sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap pribadi-pribadi muslim.

Memang, setiap jiwa yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Tapi bukan berarti kesucian dari lahir itu meniadakan upaya untuk membangun dan menjaganya, justru karena telah diawali dengan fitrah itulah, jiwa tersebut harus dijaga dan dirawat kesuciannya dan selanjutnya dibangun agar menjadi pribadi yang islami.Ruang Lingkung Kepribadian Islami

Sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sebagai berikut:

A. Ruhiyah (Ma’nawiyah)

Aspek ruhiyah adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman Allah SWT di Surat Asy-Syams : 7-10

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat beruntung orang yang mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” (QS. Asy Syams: 7-10).

Dan dalam surat Al Hadid ayat 16:

“Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ” QS. Al-Hadid:16).

Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal saleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan.

Aspek-aspek yang sangat terkait dengan ma’nawiyah seseorang adalah:

a. Aspek Aqidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan aqidah yang lurus dan kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya aqidah. Padahal aqidah adalah suatu keyakinan yang akan mewarnai sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh sebab itu kalau ingin aqidahnya terbangun dengan baik maka ruhiyahnya harus dikokohkan. Jadi ruhiyah menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim karena dia akan mempengaruhi bangunan aqidahnya.

b. Aspek akhlaq. Akhlaq adalah bukti tingkah laku dari nilai yang diyakini seseorang. Akhlaq merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlaq juga salah satu tolok ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan membuahkan bagusnya akhlaq seseorang. Allah swt dalam beberapa ayat senantiasa menggandengkan antara iman dengan berbuat baik. Rasulullah saw pun ketika ditanya tentang siapakah yang paling baik imannya ternyata jawab Rasulullah saw adalah yang baik akhlaqnya (“ahsanuhum khuluqan”)

?? ???????? ???? ?????? ? ??? ?????? ????. ???? ??? ???? ???????? ??????? ???????.

“Mukmin mana yang paling baik imannya? Jawab Rasulullah ” yang paling baik akhlaqnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)


Bahkan diutusnya Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- pun untuk menyempurnakan akhlaq manusia sehingga menjadi akhlaq yang islami

? ??????? ???? ????? ??? ?? ???????

Tolok ukur dan patokan baik dan tidaknya akhlaq adalah al-Qur’an. Itulah sebabnya akhlaq keseharian Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- merupakan cerminan dari Al-Qur’an yang beliau yakini. Hal ini terbukti dari jawaban Aisyah ra ketika ditanya tentang bagaimana akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- , jawab beliau “Akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- adalah al-Qur’an.


??? ???? ??????

c. Aspek tingkah laku. Tingkah laku adalah cerminan dari akhlaq yang melekat pada diri seseorang….

B. Fikriyah (‘Aqliyah)

Kepribadian Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan tidaknya aspek fikriyah. Kejernihan fikrah, kekuatan akal seseorang akan memunculkan amalan, kreativitas dan akan lebih dirasa daya manfaat seseorang untuk orang lain. Fikrah yang dimaksud meliputi:

a. Wawasan keislaman. Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.

b. Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an pun sering kita jumpai ayat ayat yang menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”

???? ?????? ,???? ??????, ???? ???????, ????? ??????,????? ??????

Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ- bukan sebaliknya.

c. Disiplin (tepat) dan tetap (tsabat) dalam berislam. Sungguh kehidupan ini tidak terlepas dari ujian, rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian tersebut tidak akan berakhir sebelum nafasnya berakhir. Oleh sebab itulah untuk menghadapinya perlu tsabat dalam berpegang pada syariat Allah swt.

“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)

Di surat Ali Imran: 102 Allah SWT menjelaskan,

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sebenar-benar taqwa. Dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

Begitu pentingnya tsabat dijalan Allah, sampai Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- mengajarkan do’a kepada ummatnya, sebagai berikut:


????? ?? ???? ?????? ??? ?????? ??? ???? (???? ???????)

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami untuk tetap berada pada agamaMu “

C. Amaliyah (Harokiyah)

Di antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi amaliyahnya. Amaliyah harakiah yang merubah kehidupan seorang mukmin menjadi lebih baik. Hal ini penting sebab amaliyah adalah satu di antara tiga tuntutan iman dan Islam seseorang. Tiga tuntutan tersebut adalah: al-iqror bil- lisan (ikrar dengan lisan), at-tashdiq bil-qalb ( meyakini dengan hati), dan al-amal bil jawarih (beramal dengan seluruh anggota badan). Jadi tidak cukup seseorang menyatakan beriman tanpa mewujudkan apa yang diyakininya dalam bentuk amal yang nyata.

“Maka katakanlah “beramallah kamu niscaya Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan melihat amalanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah: 105)

Umat Islam dituntut oleh Allah –subhânahu wa ta`âlâ- untuk menunaikan sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun yang kolektif bahkan kewajiban yang sistemik. Kewajiban individual akan lebih khusyu’ dan lebih baik pelaksanaannya jika ditunjang dengan sistem yang kondusif. Shalat, puasa , zakat dan haji misalnya akan lebih baik dan lebih khusyu’ kalau dilaksanakan di tengah suasana yang aman tenteram dan kondusif. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad dsb, mutlak memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya amal tersebut.

Pentingnya amaliyah harakiah dalam kehidupan seorang mukmin laksana air. Semakin banyak air bergerak dan mengalir semakin jernih dan semakin sehat air tersebut. Demikian juga seorang muslim semakin banyak amal baiknya, akan semakin banyak daya untuk membersihkan dirinya, sebab amalan yang baik bisa menjadi penghapus dosa. Simaklah QS. Huud: 114

“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa), itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Huud: 114)

Ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang harus beramal:

1. Kewajiban diri pribadi.

Sebagai hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan untuk hal yang sia-sia. Baik jin dan manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang amat mulia yaitu untuk beribadah, menghamba kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ-. Amalan adalah bentuk refleksi dari rasa penghambaan diri kepada Dzat yang mencipta.

“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah” (QS. Adz Dzaariyaat: 56)

Di samping itu pertanggungjawaban di depan mahkamah Allah nanti bersifat individu. Setiap individu akan merasakan balasan amalan diri pribadinya.

“Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (QS. an-Najm: 39-41).

2. Kewajiban terhadap keluarga.

Keluarga adalah lapisan kedua dalam pembentukan ummat. Lapisan ini akan memiliki pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah ummat. Oleh sebab itulah seseorang dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk keluarga yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa melalui pembentukan keluarga yang baik dan islami.

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim :6)

Setiap muslim seharusnya mampu membentuk keluarga yang berkhidmat untuk Islam, seluruh anggota keluarga terlibat dalam amal islami di seluruh bidang kehidupan.

3. Kewajiban terhadap dakwah.

Beramal haraki bagi seorang muslim bukan hanya atas tuntutan kewajiban diri dan keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya menuntut seseorang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial.

“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71)

“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Juga di dalam surat Fushshilat ayat 33:

“siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)

Urgensi Tafseer

Kedudukan Al Qur’an

Sesungguhnya,Al Quran merupakan tali Allah yang sangat kuat dan jalan-Nya yang lurus, Allah telah menyebutkandengan sifat yang sangat agung. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-Mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang ( Al-Quran ).”( QS.An Nisa’: 174 )
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supayamereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 29)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia,sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb-Mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit ( yang berada ) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman,” (QS.Yunus : 57)
Dan Rosulullah -shalallahu alaihi wa sallam- berkata :
Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam-

Perhatian ulama terhadap tafsir Al Qur’an

Para ulama sangat memfokuskan perhatian mereka kepada Al Qur’an. Dan salah satu bentuknya dengan menulis tafsir Al-Qur’an dan menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Dengan menarik kesimpulan hukum dan faedah dari ayat-ayatnya sesuai dengan kadar ilmu, iman, dan takwa yang telah Allah berikan kepada mereka.
Syeikh Ibnu Utsaimin -semoga Allah merahmatinya-menjelaskan : “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk tiga perkara: beribadah dengan membacanya, menghayati makna-maknanya, dan mengambil pelajaran darinya”.
Beliau juga berkata, “Seorang penuntut ilmu seyongyanya berusaha membawakan sebuah ayat untuk disampaikan tafsirnya dalam setiap kesempatan berkumpul dengan orang banyak, terutama tafsir ayat yang sering mereka baca, misalnya surat Al-Fatihah. Karena jika anda tanyakan kepada seorang awam ataupun kepada mayoritas orang awam tentang tafsir surat Al-Fatihah, mereka tidak akan mengetahui tafsirnya sedikitpun insya’Allah”.

Urgensi Tafsir     

Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.

Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih.

Metode penafsiran Al Qur’an

Setelah mengetahui betapa urgennya tafsir, maka sudah seharusnya kita juga mengetahui metode penafsiran Al-Quran yang benar, agar dalam menafsirkan Al-Quran tidak menimbulkan pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Secara ringkas, dalam menafsirkan Al-Quran ada empat metode, yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Muqadimah tafsir beliau, “Metode paling tepat dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, karena ayat yang masih global akan dijelaskan di ayat lain, apabila kamu tidak mendapatkan penjelasannya dalam Al-Quran, maka carilah penjelasan dari As- Sunnah, karena As-Sunnah adalah penjelas Al-Quran, kemudian jika kita tidak mendapatkan penjelasan di Al-Quran dan As Sunnah, maka kita meruju’ ke perkataan para sahabat, karena mereka lebih mengetahui dan melihat langsung indikasi-indikasi yang menjelaskan Al-Quran, dan juga mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar serta amal solih, terlebih khusus para ulama dan pembesar mereka, seperti empat khalifah dan para imam yang diikuti seperti Abdullah bin Mas’ud.Dan apabila aku tidak mendapatkan penjelasan dalam Al-Quran, As Sunnah, dan dari perkataan para sahabat, maka mayoritas para ulama meruju ke perkataan para tabi’in”

KETIKA AL-QUR'AN TINGGAL TULISAN

KETIKA AL-QUR'AN TINGGAL TULISAN Al-Quran adalah nama suatu kitab yang berisi firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya yang terakhir, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril. Dan caranya tidaklah sekali turun, melainkan berangsur-angsur, menurut kepentingannya, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Menurut keterangan sebagian ulama ahli tarikh, permulaan wahyu Al-Quran diturunkan pada hari ke-17 bulan Ramadhan tahun 41 Fiel, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Rasulullah pada waktu itu berumur 40 tahun. Dan penghabisan Al-Quran diturunkan pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10 Hijriyyah, bertepatan dengan 8 Maret tahun 632 M, dan saat itu Rasulullah sudah berusia 63 tahun. Masa diturunkannya Al-Quran selama 22 tahun dua bulan 22 hari.

Al-Quran diturunkan dengan berangsur-angsur bukannya tanpa alasan. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang kafir: Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”

“Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS Al-Isra’ 106). Al-Quran diturunkan dengan berproses itu bertujuan supaya Rasulullah SAW tidak merasa berat membaca dan mengajarkannya kepada manusia, dan supaya manusia yang menerima pengajaran dari Al-Quran dapat mengerjakannya sedikit demi sedikit, ajarannya masuk ke dalam qalbu, dan mereka dapat melaksanakan setiap perintah secara sempurna dan menghindari larangan dengan tuntas.

Awal dan Akhir Wahyu

Dalam bukunya Al-Quran dari Masa ke Masa, H. Munawar Khalil menulis, “Sebagian besar ulama ahli hadits, ahli tafsir, dan ahli tarikh telah sepakat bahwa permulaan wahyu Al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW adalah surah Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5, ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.’

Sedang wahyu penghabisan yang diturunkan ialah ayat yang sekarang termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 5, ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu’.”

Dikisahkan, Nabi Muhammad SAW ketika menerima wahyu pertama kali itu sedang berada di Gua Hiraa’ dan gunungnya terkenal dengan nama “Jabal Nuur”. Saat itu Rasulullah SAW sedang mengasingkan diri dari masyarakat ramai untuk bermunajad dan beribadah. Beliau memang sering mengasingkan diri di dalam gua itu sejak pertengahan bulan Rabi’ul Awwal sampai pada bulan Ramadhan. Jadi lebih kurang enam bulan lamanya beliau sering pergi dari kota Makkah berkhalwat ke gua itu.

Kemudian pada suatu malam di bulan Ramadhan dalam keadaan sunyi senyap, gelap gulita, dan seorang diri, beliau didatangi Malaikat Jibril, yang sebelumnya tidak pernah beliau kenal. Malaikat Jibril memberi tahu beliau bahwa malam itu beliau telah diangkat menjadi rasul Allah dan mulai diberi wahyu yaitu diawali dengan lima ayat surah Al-Alaq.

Adapun wahyu yang penghabisan diturunkan kepada Rasulullah SAW, menurut beberapa riwayat yang banyak disepakati para ulama, ialah pada waktu Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji wada’ di Padang Arafah bersama-sama kaum muslimin pada 9 Dzulhijjah tahun ke 10 Hijriyyah. Hanya berselang 81 hari dari wafatnya Nabi.

Keindahan Bahasa Al-Quran

Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan dengan jelas bahwa beliau tidak pernah ikut perlombaan karang-mengarang syair, membikin pidato, dan sebagainya, yang telah menjadi kebiasaan turun-temurun bangsa Arab pada umumnya di kala itu, terutama suku bangsanya sendiri, Quraisy. Betul bahwa Rasulullah SAW sejak kecil sudah fasih, lancar lidahnya, tetapi kefasihan itu adalah sesuatu yang biasa bagi orang Arab.
Demikianlah keadaan pribadi Rasulullah sebelum diangkat menjadi rasul Allah atau sebelum beliau menerima wahyu Allah.

Kemudian setelah beliau menjadi rasul dan Al-Quran telah diturunkan sedikit demi sedikit, segala yang menjadi kebesaran bangsa Arab di kala itu berangsur-angsur lenyap. Mereka umumnya menjadi lemah menghadapi semangat yang menyala-nyala yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran, yang ketajaman susunan kata-katanya bisa menembus jiwa siapa pun yang mendengarkannya.

Di kala Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah SAW, tidak sedikit bangsa Arab yang ahli dalam kesusastraan Arab yang ahli menyusun kata-kata untuk berpidato denga bahasa yang halus, fasih, dan indah. Begitu juga para penyairnya, sangatlah terkenal.
Namun apa yang terjadi setelah Al-Quran diturunkan? Tidak seorang pun yang dapat mengimbangi satu ayat pun dalam Al-Quran.
Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya melalui perantaraan Nabi-Nya, mereka yang menentang Al-Quran dipersilakan membuat satu ayat saja yang bisa mengimbangi atau yang serupa dengan ayat Al-Quran, tapi tidak satu pun mereka yang mampu menjawab tantangan tersebut.
Untuk mengetahui kehalusan dan keindahan bahasa Al-Quran itu bukan perkara mudah. Mereka yang belum pernah mempelajari bahasa Arab dengan sungguh-sungguh tentu tidak akan dapat membedakan kehalusan dan keindahan ayat-ayat Al-Quran dengan keindahan dan kehalusan bahasa Arab yang terkandung dalam kitab-kitab Arab umumnya.
Rasul pun Menangis
“Bulan Ramadhan itu yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil.” (QS Al-Baqarah: 185).
Al-Quran diturunkan ke langit dunia dari Lauh Al-Mahfuz pada bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan mendapat kemuliaan karena firman Allah SWT diturunkan pada bulan ini.

Oleh sebab itu Rasulullah SAW belajar Al-Quran bersama Jibril pada bulan Ramadhan. Setiap malamnya Rasulullah SAW mendengarkan bacaan Jibril, mentadabburinya, membacanya, dan mengambil ibrah darinya. Rasulullah SAW hidup dengan Al-Quran dan menenteramkan hati dengannya.
Orang yang tengah berpuasa dan membaca Al-Quran, berarti telah menyatukan keintiman hubungan antara bulan Ramadhan dan Al-Quran, maka ia benar-benar hidup bersama Al-Quran. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS Shaad: 29).

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad: 24).

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An-Nisa: 82).

Pada bulan Ramadhan, harusnya kita menjadikan Al-Quran sebagai sumber inspirasi. Ia mengembalikan ingatan kita kepada masa diturunkannya dahulu, masa ia dipelajari, dan masa para salafush shalih dengan sungguh-sungguh memperhatikannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al-Quran, karena pada hari Kiamat nanti ia akan menjadi penolong bagimu.”

“Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Quran dan yang mengajarkannya.”

“Bacalah dua kuntum keharuman, yaitu surah Al-Baqarah dan Ali Imran, karena keduanya pada hari Kiamat nanti akan datang seperti dua awan atau seperti sekumpulan burung yang terbang berbaris yang menaungi pembacanya dari terik panas.”

Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang yang membaca Al-Quran dan mahir dalam pembacaannya akan dibangkitkan bersama rombongan orang-orang yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Quran tapi tidak mahir akan memperoleh dua pahala.” Sebuah syair mengatakan:
 
Aku mendengarmu, wahai Al-Quran ketika malam telah larut Kemuliaan sangatlah menggugah hati
Denganmu kami membebaskan dunia sampai pagi menyongsong dengan cerah Setelah itu kami berkeliling negeri dan kami penuhi dengan pahala
Dalam buku Sekolah Ramadhan, Dr A’id Abdullah Al-Qarni menulis, “Rasulullah SAW sangat dekat dengan Al-Quran pada bulan Ramadhan. Beliau menghabiskan waktunya bersama Al-Quran, dan mempelajarinya dari Jibril.”
Al-Quran menempati posisi paling penting dalam kehidupan Rasulullah SAW, karena Al-Quran merupakan mukjizat terbesar beliau. Allah SWT mengirim Al-Quran kepada Rasulullah SAW di dunia untuk menjadikannya mukjizat yang tidak tertandingi oleh mukjizat selainnya.
Mukjizat nabi-nabi lain berakhir begitu saja seiring dengan berakhirnya kehidupan nabi tersebut di dunia, sedangkan Al-Quran tidak demikian. Al-Quran akan tetap kekal abadi sepanjang masa.
l-Quran adalah pembuka jalan dakwah Rasulullah SAW, menjadi dindingnya, menunjukkan kekuatannya, dan menjelaskan ajaran yang dibawanya dengan berkesinambungan, generasi demi generasi.
Rasulullah SAW selalu hidup bersama Al-Quran, dan beliau menjadikan kebanyakan waktu beliau untuk Al-Quran pada bulan Ramadhan.
Ketika ditanya bagaimana akhlaq Rasulullah SAW, Aisyah RA menjawab, “Akhlaqnya adalah Al-Quran.” Dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah berkata kepadaku, ‘Bacakan Al-Quran kepadaku!’
Aku menjawab, ‘Ya Rasulullah, bagaimana aku akan membacakan Al-Quran kepadamu sedangkan Al-Quran itu sendiri diturunkan kepadamu?’
Rasulullah SAW berkata lagi, ‘Bacakan Al-Quran kepadaku, karena aku suka mendengarkan Al-Quran dari orang lain.’
Akhirnya aku membacakannya kepada beliau dan beliau pun mendengarkan dengan khusyu’.
Ketika aku sampai pada ayat yang berbunyi, ‘Maka bagaimanakah jika nanti Kami datangkan bagi setiap umat itu seorang saksi dan Kami jadikan engkau saksi atas mereka pula?’ (QS An-Nisa’: 41), Rasulullah SAW berkata, ‘Cukuplah hingga ayat ini.’
Waktu itu aku perhatikan, air mata beliau bercucuran. Ternyata Rasulullah SAW sangat terharu dengan ayat itu dan teringat kepada Allah SWT.”
Abu Hatim dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW kadang-kadang keluar pada waktu malam untuk mendengarkan bacaan-bacaan Al-Quran dari dalam rumah penduduk Anshar. Pada zaman itu rumah para sahabat diramaikan oleh bacaan Al-Quran, mereka menghabiskan malam dengan mentadabburi Al-Quran.

Belum ada waktu itu orang mengobrol ke sana-kemari tanpa manfaat. Pada malam hari mereka adalah ahli ibadah, sedangkan pada siang hari mereka adalah pejuang berkuda yang mati-matian meninggikan kalimah Allah.

Pada suatu malam Rasulullah SAW mendengar suara seorang perempuan tua membaca surah Al-Ghasyiyah. Beliau Rasulullah mendekati rumah itu dan mendekatkan kepalanya ke pintu untuk mendengarkan bacaan perempuan tua tersebut. Ternyata ia sedang membaca ayat Hal ataka haditsul ghasyiyah..... (Sudahkah datang kepadamu berita tentang hari pembalasan? – QS Al-Ghasyiyah: 1). Hari pembalasan, Kiamat, adalah peristiwa amata penting yang menakjubkan, ia adalah peristiwa besar yang bakal terjadi di dunia ini.
Mendengar bacaan itu, Rasulullah SAW merasa seolah bacaan itu tertuju kepadanya. Beliau larut dalam keharuan dan menangis sambil berkata lirih, “Ya, telah datang berita itu kepadaku.”
Lihatlah, sampai sejauh itu Rasulullah SAW tersentuh hatinya mendengar bacaan Al-Quran.
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari juga disebutkan, Rasulullah SAW pernah mendatangi Ubay ibn Ka’ab RA yang selalu menghabiskan waktunya untuk mempelajari Al-Quran dan yang paling bagus bacaannya. Beliau berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk membacakannya kepadamu ayat yang berbunyi Lam yakunilladzina kafaru min ahlil kitab.... (Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata – QS Al-Bayyinah: 1).”
Ubay ibn Ka’ab berkata dengan nada heran, “Benarkah itu, ya Rasulullah?”
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, Allah memerintahkan itu kepadaku dengan menyebut namamu.”
Berlinang air mata Ubay ibn Ka’ab mendengarnya.
Lalu Rasulullah SAW membacakan surah Al-Bayyinah itu sampai selesai.
Rasulullah SAW juga pernah berkata kepada Ubay, “Wahai Abu Al-Mundzir (panggilan untuk Ubay), tahukah engkau ayat yang mana yang paling agung di dalam Al-Quran?”
Ubay menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Rasulullah mengulangi pertanyaannya.
Ubay pun masih menjawab dengan jawaban sama.
Maka Rasulullah berkata, “Yakni ayat yang berbunyi Allahu la ilaha illa Huwal Hayyul Qayyum (ayat Kursi).” Lantas beliau meletakkan tangannya di dada Ubay seraya berkata, “Mudah-mudahan ilmu dimudahkan bagimu, wahai Abu Al-Mundzir.”

Rasulullah SAW hidup bersama Al-Quran dengan cara membacanya, merenunginya, mengamalkannya, dan mengambil hukum darinya. Beliau selalu menjadikan Al-Quran itu sebagai bahan renungan dan peringatan.

Dalam hadits Abu Dzar disebutkan, Rasulullah SAW pada suatu malam bangun dari tidurnya untuk membaca Al-Quran. Ketika baru membaca Bismillahirrahmanirrahiim, beliau menangis tersedu-sedu. Bacaan basmalah itu beliau ulang-ulang terus dan air matanya terus bercucuran. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya merugi orang-orang yang tidak mendapatkan rahmat Allah.”

Merenungi Isinya
 
Al-Quran adalah petunjuk, kitab yang menuntun qalbu menuju Allah SWT.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan, ketika sahabat Bilal RA lewat di depan rumah Rasulullah SAW pada waktu sahur untuk mengumandangkan adzan subuh di masjid, ia mendengar Rasulullah SAW membaca ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka’.” (QS Ali Imran:190-191).

Ketika Rasulullah tahu bahwa Bilal ikut mendengarnya, beliau berkata kepadanya, “Baru saja turun kepadaku beberapa ayat Al-Quran. Sungguh celakalah orang yang membacanya tapi tidak merenunginya.”

Al-Quran memang teman hidup Rasulullah SAW, terutama di bulan Ramadhan. Karena itu terdapat banyak riwayat yang menyebutkan, para salaf dulu mengkhususkan bulan Ramadhan untuk merenungi Al-Quran dan tidak disibukkan dengan ilmu-ilmu lain walaupun memiliki keutamaan yang juga besar.

Menurut sunnah, membaca Al-Quran haruslah dengan perlahan dan penuh penghayatan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidaklah memahami Al-Quran orang yang membacanya (menamatkannya) kurang dari tiga hari.”

Rasulullah SAW berkata kepada Ibnu Amru, “Bacalah Al-Quran dalam tujuh hari (paling cepat menamatkannya) dan jangan kurang dari itu.”

Maka, menurut sunnah, menamatkan bacaan Al-Quran harus di atas tiga hari, jangan sampai kurang. Cara yang lebih baik adalah membacanya dengan merenungi dan meresapi setiap maknanya, karena cara yang seperti itulah yang membawa hasil dan menambah keimanan.

Tiga Golongan


Dalam hal membaca Al-Quran, manusia terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama, mereka yang berlebih-lebihan, yakni yang membacanya tanpa merenungi dan meresapi setiap maknanya. Tujuan mereka hanyalah mengkhatamkan sesering mungkin sehingga sebagian mereka ada yang mengkhatamkan dalam waktu satu atau dua hari saja. Mereka membacanya secepat mungkin.

Kedua, mereka yang sangat jarang membacanya bahkan tidak pernah membacanya sama sekali.

Ketiga, mereka yang berada di antara dua golongan di atas. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam membacanya, tapi tidak pula berkekurangan. Inilah golongan yang terbaik.

Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW bersabda, “Apabila memasuki bulan Ramadhan, dibukalah pintu surga dan ditutup pintu neraka serta dibelenggu setan-setan.”

Allah SWT lebih banyak menerima taubat hamba-hamba-Nya pada bulan Ramadhan, karena Allah menjadikan bulan itu bulan kebaikan dan pengampunan. Maka beruntunglah orang-orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan lalu berbuat baik di dalamnya. Beruntunglah orang yang dapat mencapai keridhaan Sang Maharahman di bulan ini, dan Mahasuci Allah, yang begitu banyak memberi ganjaran pada bulan ini, sampai Dia nanti di akhir bulan Ramadhan akan membebaskan siapa yang Dia kehendaki dari api neraka tanpa batas.

Iman Terkikis

Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan melaksanakan shalat Tahajjud seperti pada saat di luar Ramadhan, tapi beliau lebih giat lagi mengerjakannya, karena bulan Ramadhan adalah bulan bulan shiyam (puasa) dan qiyam (shalat malam)

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ganjaran, diampuni atas dosa-dosanya yang telah lalu.” Dengan penuh keimanan artinya tidak termasuk orang yang berpuasa bukan karena iman atau hanya karena menurut adat, sedangkan mengharapkan ganjaran maksudnya bukan berpuasa karena riya’ dan pamer.

Sepanjang malam bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bermunajat kepada Allah SWT. Betapa besarnya pahala bangun shalat malam, terlebih lagi pada bulan Ramadhan, yang agung. Begitu pula sujud, berwudhu’, berdoa, dan menangis, terlebih lagi pada bulan Ramadhan.

Ketika mendirikan shalat malam itu ditinggalkan oleh umat Islam, iman yang ada di dalam dada mereka menjadi terkikis dan keyakinan mereka menjadi lemah.

Generasi berganti, tapi tidak seperti generasi yang hidup bersama Rasulullah SAW dulu. Generasi yang ada sekarang hanya generasi yang lemah, terhina, dan penuh kemalasan, kecuali sebagian kecil mereka yang masih dirahmati Allah SWT. Sungguh sedikit di antara mereka yang bersyukur.

“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang-Tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra: 79).

Engkau akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti seperti saat engkau bangun malam. Kedudukanmu ditentukan pula dengan apa yang engkau laksanakan di waktu malam hari. Pada hari itu tidak ada yang bisa memberi syafa’at dan pertolongan kecuali seizin Allah. Apa yang telah engkau perbuat di dunia, seperti itulah keadaanmu nanti dibangkitkan.

Bagi seorang muslim yang menginginkan kebaikan atas dirinya, ia mesti memperbanyak membaca Al-Quran, shalat malam. Apalagi di bulan Ramadhan, bulan untuk memperbaharui jiwa, bertabur kesempatan yang tidak akan tergantikan kapan pun, bulan taubat dan pembebasan dari api neraka.

Sungguh merugi dan bodoh sekali orang yang bertemu bulan Ramadhan tapi tidak bertaubat dari masa lalunya sehingga tidak mendapat pembebasan dari neraka.

Rasulullah SAW jika shalat malam tidak pernah lebih dari 11 rakaat, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA. Tapi satu rakaat yang beliau lakukan sungguh sangat lama. Dalam satu rakaat beliau bermunajad kepada Allah SWT, merenungi ayat-ayat-Nya. Beliau menghidupkan jiwanya dengan mentadabburi Al-Quran, menangis, dan merengek, bersujud, ruku’, dalam waktu lama, sehingga setiap rakaatnya menjadi suatu kebaikan, tidak ada yang lebih baik dari itu.

Membaca Al-Quran dengan tajwid serta shalat dengan tenang itu jauh lebih baik daripada memperbanyak rakaat tanpa itu semua. Dalam beramal, kualitas lebih penting daripada kuantitas. Begitu juga dalam membaca Al-Quran. Jangan membaca dengan tergesa-gesa dan jangan pula disenandungkan yang sampai merusak kata dan maknanya.

Ada orang yang hanya menamatkan Al-Quran sekali saja tapi karena bacaan, tajwid, dan penghayatannya sangat baik, kalamullah itu dapat mengobati penyakit dirinya dan luka hatinya. Al-Quran memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membacanya.

Tapi ada juga orang yang menamatkan Al-Quran berkali-kali tapi Al-Quran itu tidak menjadi konsumsi hatinya dan tidak pula menjadi penguat bagi keyakinannya, karena ia membacanya tidak dengan penghayatan.

Rumah para salafush shalih pada bulan penuh rahmah dan berkah ini bergema seperti gema lebah yang memancarkan cahaya dan dipenuhi kegembiraan. Mereka membaca Al-Quran dengan tartil, memperhatikan keajaiban-keajaiban isinya, takut dan menangis terhadap peringatan-peringatan yang terdapat di dalamnya, berbahagia dengan berita gembiranya, saling mengingatkan dengan perintah-perintahnya, dan saling mencegah dengan larangan-larangannya. Al-Quran bila dibaca dengan baik dapat menggugah perasaan dan melapangkan hati orang yang mendengarkannya.

Tinggal di Tenggorokan
 
Namun ketika generasi terakhir ini tidak lagi membaca, menghayati, dan mengamalkan Al-Quran, muncullah berbagai kerusakan pada diri mereka. Pendidikan jadi menyimpang, fithrah kemanusiaan menjadi lenyap, dan pemahaman menjadi tidak sehat lagi.

Pada saat Al-Quran digantikan dengan yang lain, kerusakan pun semakin menjadi-jadi, bencana mewabah, paham menjadi berbenturan, dan segala tekad menemui kegagalan.

Al-Quran, yang agung, menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus. Al-Quran, yang agung, adalah cahaya, obat jiwa, ilmu pengetahuan, budaya, dan bukti nyata. Al-Quran, yang agung, adalah hidup dan ruh kehidupan, sumber kebahagiaan, serta induk kebajikan. Al-Quran, yang agung, adalah ajaran ketuhanan, undang-undang Ilahi, dan hikmah yang abadi.

Rasulullah SAW bersabda, “Hampir datang suatu masa kepada umat manusia bahwa Islam tidaklah ketinggalan melainkan tinggal namanya, dan Al-Quran tidaklah ketinggalan melainkan tinggal tulisan, masjid-masjid mereka ramai tetapi sunyi kosong dari petunjuk yang benar, para ulama mereka lebih buruk dari segala apa yang di bawah kolong langit karena dari sisi mereka itu keluarnya fitnah dan kepada mereka fitnah akan kembali.” (HR Imam Al-Baihaqi dari Ali RA).

Hadits ini jelas mengandung keterangan bahwa Islam tinggal namanya dan Al-Quran tinggal tulisannya. Apa yang diingatkan oleh Rasulllah SAW itu kini tampak mulai menjadi kenyataan.

Dewasa ini Al-Quran tinggal tulisannya, semua tuntunannya tidak lagi diperhatikan dan tidak pula dipraktekkan. Jangankan dipraktekkan, mempelajari dan memikirkan saja sudah banyak yang tidak mau lagi. Banyak orang Islam yang merasa sudah cukup dengan kitab karangan para ulama, merasa cukup dengan kitab karangan para gurunya, merasa cukup dengan keterangan para leluhurnya atau nenek moyangnya....

Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu masa umatku pada masa itu banyak para pembaca Al-Quran, sedikit orang yang pandai agama, dicabutlah ilmu pengetahuan, dan banyak huru-hara, kemudian datanglah sesudah itu suatu masa orang-orang dari golongan umatku membaca Al-Quran dengan tidak melalui tulang tenggorokan mereka.” (HR Imam At-Thabarani).

Pada hadits lain beliau menyatakan, “Akan ada kemudian orang-orang dari umatku yang membaca Al-Quran yang bacaannya tidak melalui tenggorokannya, mereka terlepas dari agama Islam seperti terlepas anak panah dari busurnya, kemudian tidaklah mereka dapat kembali di dalamnya, mereka itu sejelek-jelek makhluk dan sejahat-jahat manusia.” (HR Imam Muslim).

Kemudian ada hadits lainnya, “Akan ada nantinya para ahli ibadah yang bodoh dan para ahli membaca Al-Quran yang durhaka.” (HR Imam Abu Nu’aim).

Keadaan umat Islam seperti yang diingatkan oleh Rasulullah SAW itu sudah mulai tampak pada zaman sekarang. Mereka tidak lagi menjadikan Al-Quran sebagai tuntunan hidup, tapi sekadar didendangkan sebatas tenggorokan. Al-Quran tidak lagi ditaati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran hanya sebagai buku sakti yang dipajang di dalam lemari atau ditaruh di tempat yang tinggi sampai berdebu.

Sekarang terserah kepada masing-masing kita. Apakah kita memang hidup bersama Al-Quran ini, mengenal kebesaran Al-Quran, sehingga kehidupan kita bahagia dengannya di dunia dan akhirat. Atau sebaliknya....

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini